Minggu, 28 Agustus 2011

Tradisi Mudik Idul Fitri

Menjelang Idul Fitri tiba, umat muslim selalu dihadapkan dengan tradisi tahunan, yaitu mudik atau “pulang kampung”. Utamanya, bagi mereka yang hidup di perantauan dengan meninggalkan tempat kerja, usaha, rumah, atau kantor untuk berbagi kebahagiaan bersama sanak famili menuju kampung halaman.

Mudik juga merupakan momentum untuk dapat ber-silaturohim dengan keluarga dan tetangga setelah sekian lama tidak bertemu. Sebuah tujuan yang sangat mulia dan memiliki nilai ukhuwah yang sangat tinggi. Untuk menunaikan tujuan mulia tersebut, para pemudik kadang tidak lagi peduli harus berjubel di dalam kendaraan umum atau mengantre panjang untuk mendapatkan tiket kereta atau kendaraan umum, baik darat, laut maupun udara, bahkan tidak jarang menghadapi resiko penipuan atau pencopetan selama perjalanan pulang, belum lagi terjebak macet berjam-jam sepanjang perjalanan yang juga beresiko terjadinya kecelakaan lalulintas.

Namun, semua resiko itu sepertinya tak pernah menyurutkan niat mereka untuk mudik ke kampung asal. Malah, kaum pemudik itu justru menunggu momentum penting itu. Bagi mereka semua itu menjadi tak berarti jika dibandingkan dengan kenikmatan silaturohim dan melepas rindu bersama keluarga di kampung halaman.

Melekatnya momentum mudik dengan Idul Fitri seringkali menjadikan Idul Fitri dan juga Romadhon hanya bermakna sebagai rutinitas ritual. Persiapan dan perjalanan mudik beserta kesibukan yang mengiringinya hampir dipastikan akan mengurangi bahkan melenyapkan ke-khusu-an ibadah kita yang justru seharusnya lebih meningkat dan menebal di penghujung Romadhon. Kesempatan untuk dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah swt di bulan penuh ampunan, yang sebenarnya merupakan inti dari ibadah Romadhon akan sirna seiring berbagai kesibukan dan resiko-resiko saat mudik yang penuh tekanan emosi. Akhirnya kita hanya merayakan ‘lebaran’ tanpa makna bukanlah Idul Fitri yang sesungguhnya. Mudik, seakan telah menjadi ritual budaya, yang sedemikian mentradisi dalam masyarakat kita. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi “kebutuhan primer” tahunan masyarakat urban. Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri yang nota bene hari raya umat Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim.

Jika para pemudik bisa memaknai aktivitas mudik secara mendalam, sebenarnya masih bisa memanifestasikan ke dalam bentuk ibadah dan mengurangi dampak-dampak negatif dari tradisi mudik. Selain memanjangkan tali silaturohim ketika tiba di tempat tujuan, berlatih kesabaran dalam mengatasi dan menjalani resiko-resiko mudik merupakan lahan ibadah yang luas dan berkolerasi positif terhadap inti dari ibadah shaum. Namun terkadang agenda dan kesibukan mudik itu sendiri, mengikis semuanya. Dan akhirnya Idul Fitri pun hanya sebatas dirayakan tanpa dimaknai.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentari walau dengan sedikit kata. Jika ingin menambahkan icon smiley, ketik karakter seperti yang tertera di samping kanan icon yang mewakili perasaan anda.

Artikel Popular

Arsip

detikcom

Peringkat Alexa